Welcome to Taufan Lubis Blog

Many times the difference between failure and success is doing something nearly right..... or doing something exactly right.

Thursday, October 05, 2006

Untuk Para Ayah

Semuanya itu disadari John pada saat dia termenung seorang diri,
menatap kosong keluar jendela rumahnya. Dengan susah payah ia
mencoba untuk memikirkan mengenai pekerjaannya yang menumpuk. Semuanya sia-sia belaka.

Yang ada dalam pikirannya hanyalah perkataan anaknya Magy disuatu
sore sekitar 3 minggu yang lalu. Malam itu, 3 minggu yang lalu John
membawa pekerjaannya pulang. Ada rapat umum yang sangat penting besok
pagi dengan para pemegang saham. Pada saat John memeriksa pekerjaannya, Magy putrinya yang baru berusia 2 tahun datang menghampiri, sambil membawa buku ceritanya yang masih baru. Buku baru bersampul hijau dengan gambar peri.

Dia berkata dengan suara manjanya, "Papa lihat !"
John menengok kearahnya dan berkata, " Wah, buku baru ya ?"
"Ya Papa!" katanya berseri-seri, "Bacain dong !"
"Wah, Ayah sedang sibuk sekali, jangan sekarang deh", kata John
dengan cepat sambil mengalihkan perhatiannya pada tumpukan
kertas didepan hidungnya. Magy hanya berdiri terpaku disamping John sambil memperhatikan.

Lalu dengan suaranya yang lembut dan sedikit dibuat-buat mulai
merayu kembali : "Tapi mama bilang Papa akan membacakannya untuk Magy".
Dengan persaan agak kesal John menjawab: "Magy dengar, Papa sangat
sibuk.
Minta saja Mama untuk membacakannya."
"Tapi Mama lebih sibuk daripada Papa," katanya sendu. "Lihat
Papa, gambarnya bagus dan lucu."
Lain kali Magy, sana! Papa sedang banyak kerjaan."
John berusaha untuk tidak memperhatikan Magy lagi. Waktu berlalu,
Magy masih berdiri kaku disebelah Ayahnya sambil memegang erat
bukunya.
Lama sekali John mengacuhkan anaknya.

Tiba-tiba Magy mulai lagi: "Tapi Papa, gambarnya bagus sekali dan
ceritanya pasti bagus! Papa pasti akan suka."
"Magy, sekali lagi Ayah bilang: Lain kali !" dengan agak keras
John membentak anaknya.

Hampir menangis Magy mulai menjauh, "Iya deh, lain kali ya Papa,
lain kali."
Tapi Magy kemudian mendekati Ayahnya sambil menyentuh lembut
tangannya, menaruh bukunya dipangkuan sang Ayah sambil berkata: "Kapan
saja Papa ada waktu ya, Papa tidak usah baca untuk Magy, baca saja untuk Papa.

Tapi kalau Papa bisa, bacanya yang keras ya, supaya Magy juga bisa ikut
dengar."
John hanya diam.
Kejadian 3 minggu yang lalu itulah sekarang yang ada dalam pikiran
John. John teringat akan Magy yang dengan penuh pengertian mengalah.
Magy yang baru berusia 2 tahun meletakan tangannya yang mungil di atas
tangannya yang kasar mengatakan: "Tapi kalau bisa bacanya yang keras ya Pa, supaya Magy bisa ikut dengar."

Dan karena itulah John mulai membuka buku cerita yang diambilnya dari tumpukan mainan Magy di pojok ruangan. Bukunya sudah tidak terlalu baru, sampulnya sudah mulai usang dan koyak. John mulai
membuka halaman pertama dan dengan suara parau mulai membacanya.

John sudah melupakan pekerjaannya yang dulunya amat sangat penting. Ia
bahkan lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap pemuda mabuk yang dengan kencangnya menghantam tubuh anak gadisnya di jalan depan rumah.

John terus membaca halaman demi halaman sekeras mungkin, cukup keras bagi Magy untuk dapat mendengar dari tempat peristirahatannya yang terakhir. Mungkin.

True Love....

Para penumpang bus memandang penuh simpati ketika wanita muda
berpenampilan menarik dan bertongkat putih itu dengan hati-hati
menaiki tangga. Dia membayar sopir bus lalu, dengan tangan meraba-raba kursi, dia berjalan menyusuri lorong sampai menemukan kursi yang tadi dikatakan kosong oleh si sopir. Kemudian ia duduk, meletakkan tasnya dipangkuannya dan menyandarkan tongkatnya pada tungkainya.

Setahun sudah lewat sejak Susan, tiga puluh empat, menjadi buta.
Gara-gara salah diagnosa dia kehilangan penglihatannya dan terlempar
ke dunia yang gelap gulita, penuh amarah, frustasi, dan rasa kasihan pada
diri sendiri.

Sebagai wanita yang sangat independen, Susan merasa terkutuk oleh
nasib mengerikan yang membuatnya kehilangan kemampuan, merasa tak berdaya, dan menjadi beban bagi semua orang di sekelilingnya.

"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padaku ?" dia bertanya-tanya, hatinya mengeras karena marah. Tetapi, betapa pun seringnya ia menangis atau menggerutu atau berdoa, dia mengerti kenyataan yang menyakitkan itu -- penglihatannya takkan pernah pulih lagi. Depresi mematahkan semangat Susan yang tadinya selalu optimis. Mengisi waktu seharian kini merupakan perjuangan berat yang menguras tenaga dan membuatnya frustasi.

Dia menjadi sangat bergantung pada Mark, suaminya. Mark seorang
perwira Angkatan Udara. Dia mencintai Susan dengan tulus. Ketika
istrinya baru kehilangan penglihatannya, dia melihat bagaimana Susan
tenggelam dalam keputus asaan. Mark bertekat untuk membantunya
menemukan kembali kekuatan dan rasa percaya diri yang dibutuhkan
Susan untuk menjadi mandiri lagi.

Latar belakang militer Mark membuatnya terlatih untuk menghadapi
berbagai situasi darurat, tetapi dia tahu, ini adalah pertempuran
yang paling sulit yang pernah dihadapinya.
Akhirnya, Susan merasa siap bekerja lagi. Tetapi, bagaimana dia
akan bisa sampai ke kantornya? Dulu Susan biasa naik bus, tetapi sekarang
terlalu takut untuk pergi ke kota sendirian.Mark menawarkan untuk
mengantarkannya setiap hari, meskipun tempat kerjamereka terletak di
pinggir kota yang berseberangan.

Mula-mula, kesepakatan itu membuat Susan nyaman dan Mark puas karena
bisa melindungi istrinya yang buta, yang tidak yakin akan bisa melakukan hal-hal paling sederhana sekalipun.

Tetapi, Mark segera menyadari bahwa pengaturan itu keliru -- membuat mereka terburu-buru, dan terlalu mahal. Susan harus belajar naik bus lagi, Mark menyimpulkan dalam hati. Tetapi, baru berpikir untuk menyampaikan rencana itu kepada Susan telah membuatnya merasa tidak enak. Susan masih sangat rapuh, masih sangat marah. Bagaimana reaksinya nanti?

Persis seperti dugaan Mark, Susan ngeri mendengar gagasan untuk naik
bus lagi. "Aku buta !" tukasnya dengan pahit. "Bagaimana aku bisa tahu
kemana akupergi? Aku merasa kau akan meninggalkanku"

Mark sedih mendengar kata-kata itu, tetapi ia tahu apa yang harus dilakukan. Dia berjanji bahwa setiap pagi dan sore, ia akan naik bus bersama Susan, selama masih diperlukan, sampai Susan hafal dan bisa pergi sendiri. Dan itulah yang terjadi.

Selama dua minggu penuh Mark, menggunakanseragam militer lengkap, mengawal Susan ke dan dari tempat kerja, setiap hari. Dia mengajari Susan bagaimana menggantungkan diri pada indranya yang lain, terutama pendengarannya, untuk menemukan dimana ia berada dan bagaimana beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Dia menolong Susan berkenalan dan berkawan dengan sopir-sopir bus dan menyisakan satu kursi kosong untuknya. Dia membuat Susan tertawa, bahkan pada hari-hari yang tidak terlalu menyenangkan ketika Susan tersandung waktu turun dari bus, atau menjatuhkan tasnya yang penuhberkas di lorong bus.

Setiap pagi mereka berangkat bersama-sama, setelah itu Mark akan naik taksi
ke kantornya.
Meskipun pengaturan itu lebih mahal dan melelahkan daripada yang
pertama, Mark yakin bahwa hanya soal waktu sebelum Susan mampu naik
bus tanpa dikawal. Mark percaya kepadanya, percaya kepada Susan yang dulu dikenalnyasebelum wanita itu kehilangan penglihatannya; wanita yang
tidak pernah takut menghadapi tantangan apapun dan tidak akan pernah
menyerah.

Akhirnya, Susan memutuskan bahwa dia siap untuk melakukan perjalanan
itu seorang diri. Tibalah hari Senin. Sebelum berangkat, Susan memeluk Mark yang pernah menjadi kawannya satu bus dan sahabatnya yang terbaik. Matanya berkaca-kaca, penuh air mata syukur karena kesetiaan, kesabaran dan cinta Mark. Dia mengucapkan selamat berpisah. Untuk pertama kalinya mereka pergi ke arah yang berlawanan.

Senin, Selasa, Rabu, Kamis...Setiap hari dijalaninya dengan sempurna.
Belum pernah Susan merasa sepuas itu. Dia berhasil ! Dia mampu
berangkat kerja tanpa dikawal. Pada hari Jum'at pagi, seperti biasa
Susan naik bus ke tempat kerja. Ketika dia membayar ongkos bus sebelum turun, sopir bus itu berkata :

"Wah..., aku iri padamu". Susan tidak yakin apakah sopir itu bicara
kepadanya atau tidak. Lagipula, siapa yang bisa iri pada seorang wanita buta
yang sepanjang tahun lalu berusaha menemukan keberanian untuk menjalani
hidup?

Dengan penasaran, dia berkata kepada sopir itu, "Kenapa kau bilang kau iri kepadaku?" Sopir itu menjawab, "Kau pasti senang selalu dilindungi dan dijagai seperti itu" Susan tidak mengerti apa maksud sopir itu.
Sekali lagi dia bertanya, "Apa maksudmu ?" Kau tahu, minggu kemarin,
setiap pagi ada seorang pria tampan berseragam militer berdiri di sudut
jalan dan mengawasimu waktu kau turun dari bus.
Dia memastikan bahwa kau menyeberang dengan selamat dan dia mengawasimu terus sampai kau masuk ke kantormu. Setelah itu dia meniupkan ciuman, memberi hormat ala militer, lalu pergi. Kau wanita yang beruntung",kata sopir itu. Air mata bahagia membasahi pipi Susan. Karena meskipun secara fisik tidak dapat melihat Mark, dia selalu bisa memastikan kehadirannya. Dia beruntung, sangat beruntung, karena Mark memberikannya hadiah yang jauh lebih berharga daripada penglihatan, hadiah yang tak perlu dilihatnya dengan matanya untuk menyakinkan diri -- hadiah cinta yang bisa menjadi penerang dimanapun ada kegelapan